Komisi Disabilitas dan Ahli Psikologi Ungkap Fakta Kasus Pelecehan Seksual di Polda NTB
Mataram – NTB – ANTPNEWS110.COM -– Penetapan IWAS, alias Agus (21), seorang penyandang disabilitas tanpa kedua lengan, sebagai tersangka dalam kasus pelecehan seksual terus menjadi sorotan publik. Keputusan ini memicu diskusi hangat di kalangan pakar hukum, psikolog, dan masyarakat umum karena melibatkan individu dengan keterbatasan fisik yang dianggap tetap mampu melakukan tindak pidana.
Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Joko Jumadi, S.H., M.H., dalam konferensi pers Senin (02/12/2024), menyampaikan bahwa pihaknya telah memberikan pendampingan hukum sejak awal kasus ini dilaporkan.
Pendampingan tersebut dilakukan untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas terlindungi sesuai ketentuan hukum, terutama berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2020 tentang akomodasi layak bagi disabilitas dalam proses peradilan.
“Penetapan tersangka oleh Polda NTB ini, saya rasa tidak dilakukan sembarangan. Semua hak disabilitas telah diperhatikan sesuai prosedur hukum oleh Polisi,” Tegas Joko.
Kemampuan Fisik Pelaku Jadi Pertimbangan
Joko mengungkapkan bahwa hasil penilaian personal menunjukkan IWAS mampu menjalankan berbagai aktivitas seperti menyelam, mengendarai sepeda motor, hingga memproduksi konten media sosial. Kemampuan tersebut menjadi dasar kuat bagi polisi dalam menetapkan IWAS sebagai tersangka.
“Dengan menggunakan kakinya, IWAS dapat melakukan fungsi tangan, termasuk tindakan fisik yang diduga menjadi bagian dari tindak pidana,” Jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa setelah pemberitaan kasus ini merebak, tiga korban baru, semuanya anak-anak, melapor kepada pihak berwajib. Total korban saat ini berjumlah enam orang, dengan kemungkinan jumlah tersebut bertambah seiring penyelidikan lebih lanjut.
Aspek Psikologis dalam Kasus Pelecehan
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) NTB, Lalu Yulhaidir, S.Psi., M.Psi., turut memberikan pandangannya terkait aspek psikologis dalam kasus ini. Ia menyoroti adanya manipulasi emosi yang dilakukan tersangka untuk menekan para korban.
“Pelaku memanfaatkan perasaan takut, panik, hingga tidak berdaya untuk mengendalikan korban,” Ujar Yulhaidir.
Ia menjelaskan bahwa bentuk ancaman verbal seperti, “Kalau kamu tidak menurut, saya akan membongkar rahasiamu,” menjadi tekanan psikologis yang membuat korban kehilangan kontrol atas situasi.
Tahanan Rumah untuk Tersangka
Saat ini, IWAS menjalani tahanan rumah sesuai rekomendasi KDD. Langkah ini diambil karena fasilitas di rumah tahanan dianggap belum memadai untuk penyandang disabilitas. Selain itu, keputusan ini mempertimbangkan sikap kooperatif IWAS selama proses hukum berlangsung.
“Kami memastikan proses hukum berjalan adil untuk semua pihak, dengan tetap mematuhi hak-hak penyandang disabilitas,” Tambah Joko.
Kesetaraan Hukum untuk Semua
Kasus ini menjadi bukti bahwa penyandang disabilitas memiliki kedudukan hukum yang sama dengan masyarakat umum. Pendampingan dari pihak terkait terus dilakukan untuk memastikan proses hukum berjalan adil dan transparan.
Penyelidikan masih berlangsung, dengan fokus pada pengumpulan bukti dan identifikasi korban tambahan. Kasus ini membuka ruang diskusi baru mengenai bagaimana hukum dapat diterapkan secara adil tanpa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
Laporan : Nurmaya